Artikel

Menyambut Hari Raya Idul Adha Begini Filosofi Qurban Menurut Kiai

  • Di Publikasikan Pada: 26 Jun 2023
  • Oleh: Admin

 FILOSOFI QURBAN DALAM RANGKA MENYAMBUT HARI RAYA IDUL ADHA

Oleh Dr. Mahsun Djayadi, M.Ag.

 

    Umat Islam mempunyai dua hari raya yaitu ‘Idul Fithri (tanggal 1 syawwal lepas ibadah shiyam ramadhan) dan ‘Idul Adh-ha (tanggal 10 Dzul Hijjah) yang ditandai dengan adanya ibadah qurban (udh-hiyyah).

Landasan teologis qurban antara lain:


?????? ????????????? ???????????

Artinya: Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.




 ??????? ????????? ?????????

Artinya: Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.



 ????????????? ????????? ?????? ???????????? ????? ??????? ??? ???????? ????????????? ?????? ??? ????????? ???? ????????? ???????????? ? ???????? ??????? ???????????? ?????????? ??????????

Artinya: Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj: 28).


    Kata qurban berasal dari qaruba-yaqrubu-qurbanan yang berarti hampir, dekat, atau mendekati. Ungkapan kata qurban dalam literasi arab disebut udhiyyah. Kata udlhiyyah merupakan bentuk jama’ dari kata dlahiyah yang berarti binatang sembelihan, kata udlhiyyah disebut juga nahr (ibadah qurban). Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh as-Sunnah, Jilid III, hal 197. mengatakan bahwa Al-Udhhiyyah adalah nama bagi binatang yang disembelih baik unta, sapi dan kambing pada hari Nahar (10 Dzulhijjah) dan hari-hari Tasyriq untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.



    Menurut Majelis Tarjih (MTT PPM) qurban adalah udhiyyah, yaitu menyembelih hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri (kepada Allah) dalam waktu tertentu pula atau hewan yang disembelih dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah pada hari-hari Nahar”. Sumber yang lain mengatakan bahwa Udh-hiyyah berasal dari kata Ad-Dhuha yakni waktu duha (pagi menjelang siang). Maka waktu penyembelihan yang baik (afdhol) adalah tanggal 10 Dzulhijjah ba’da shalat idul adh-ha sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut,


???? ?????? ???? ??????? – ??? ???? ??? – ????? ????? ?????????? – ??? ???? ???? ???? – « ???? ?????? ?????? ?????????? ?????????? ?????? ?????????? ? ?????? ?????? ?????? ?????????? ?????? ????? ???????? ? ????????? ??????? ??????????????

Artinya: Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat (Idul Adha), maka ia berarti menyembelih untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Idul Adha), maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunnah kaum muslimin.”



    Nilai keikhlasan dalm berqurban menjadi roh utama sehingga bisa menghindarkan diri dari niyat untuk saling bersaing "nama" atau memburu popularitas dalam melakukannya. Subtansi ibadah ini justru membutuhkan dimensi kejujuran dan keikhlasan. Para pelaku qurban (muqorib) seharusnya memahami bahwa analogi penyembelihan binatang ternak tersebut sesungguhnya mengajarkan perjuangan tentang penyelamatan dimensi kemanusiaan dari hal-hal yang bisa menjerumuskan. Hal ini harus dilakukan sebab segala jenis dan level kejahatan yang seringkali menjebak manusia, dominasinya adalah nafsu-nafsu kebinatangan. Jika nafsu kebinatangan merasuk dan menjadi bagian dari sifat manusia maka itulah yang disebut akhlaq madzmumah, atau “Suu’ul adab”.

Jangan hanya sekedar fokus mengkalkulasi pahala dan berharap sembelihan qurban menjadi kendaraan pengantar menuju Surga, maka yang lebih essensial, lebih realistis lagi bila hikmah-hikmah sosial dari keutamaan ibadah qurban tersebut pun ikut dihayati. Sehingga lebih berbobot lagi aktualisasi nilai dari konsepsi ini, dan mampu membingkai kolektifitas manusia dalam mata rantai kehidupan yang "sehat" dan “maslahat”. Dengan pemahaman seperti itu, maka sedikitnya ada tiga makna filosofis qurban pada idul adh-ha ini sebagai berikut:


    Pertama, secara zhahir qurban adalah penyembelihan binatang ternak (sapi, unta, atau kambing) yang dilakukan seorang muslim sebagai wujud ibadah dan ketaatan diri terhadap perintah Allah yakni “Taqorrub ila Allah”. Secara metafor sesungguhnya memiliki makna yang sangat dalam bahwa penyembelihan binatang ternak bisa dimaknai sebagai “penyembelihan” nafsu-nafsu kebinatangan dari manusia (nafsu angkara murka, takabbur, ananiyyah, hasad, dll), dalam rangka “tazkiyah” atau penyucian diri, sehingga benar-benar menjadi hamba Allah yang “hanif” dan memiliki nilai spiritualitas yang tinggi.


    Kedua, Bahwa keta’atan, kepatuhan, sami’na wa atho’na, terhadap perintah agama (baca: Perintah Allah swt) secara total akan menjadikan diri ini memiliki ketentraman hati, tidak mudah mengeluh, ikhlas dan selalu tawakkal kepada Allah serta berjiwa Qona’ah yakni merasa cukup dengan apa yang ada ( ???????? ?????? ?????? ????? ???? ?????? ???????? ????????  ).

Nabi Ibrahim tidak pernah tahu bahwa akhirnya Ismail diganti dengan domba yang disembelih. Hal ini sama dengan nabi-nabi yang lain yang juga memiliki keta’atan yang totalitas. Nabi Musa tidak pernah tahu bahwa tongkat kesayangannya akhirnya bisa membelah lautan, atau bisa menelan ular-ular bikinan para tukang sihir. Nabi Nuh tidak pernah tahu akan terjadi banjir bandang yang dahsyat, tetapi beliau hanya taat perintah membuat perahu/kapal yang besar, itupun ditertawai oleh orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Nabi Muhammad saw tidak pernah tahu bahwa kampung yatsrib yang diubah nama menjadi “Madinah” akhirnya menjadi mercusuar (al-Munawwarah) bagi tersebarnya agama Islam ke seluruh penjuru dunia.


    Ketiga, bagi kita umat Islam, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri kita besok dan ke depannya ( ????? ???????? ???????? ??? ???? ????????? ??????  ) . Tetapi kita sebagai hamba Allah yang beriman wajib faham bahwa keta’atan beribadah kepada Allah dengan khusyu’, ikhlas, pasti akan menjadi energi positiv yang akan melahirkan kondisi-kondisi dan perilaku yang selalu positiv pula.

Dengan memahami hikmah ibadah qurban baik secara maknawi maupun filosofis seharusnya mampu mengantarkan kita sebagai pribadi yang haniif, Muthi’, dan muttaqiin. Daging-daging ternak qurban dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. Lihat (QS Al-Hajj ayat 37).



Wallahu a’lamu bi As-shawab